Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 01 April 2023

The Secret Of Remang-remang Kalampangan

 

Dari kiri ke kanan atas. Aris, Janssen, Elit, Tino, Sentia, Afri, Monic, Bela. Dari bawah. Yarni, Angel dan Ijes
Dari kiri ke kanan atas. Aris, Janssen, Elit, Tino, Sentia, Afri, Monic, Bela. Dari bawah. Yarni, Angel dan Ijes

     Di malam yang dingin dan angin yang menusuk sekujur tubuh, sekelompok muda-mudi dari dua bagian wilayah Indonesia yang sejak dulu selalu saja diterpa isu kesenjangan sosial, barat dan timur dipertemukan dalam satu wadah diskusi di sebuah desa kecil transmigrasi. 

    Remang-remang lampu Gereja Desa Kalampangan menjadi saksi riuh ricuh suara yang asing terdengar di Desa itu. Tercium aroma jagung bakar dan remahan-remahan ranting kayu yang habis dilahap api kemudian mengubahnya menjadi bara, sehingga menghangatkan suasana malam itu.

  Percakapan awalnya dibuka dengan mencoba menghadirkan masing-masing polemik yang dialami oleh setiap orang di dalam bangku dunia perkuliahan. Pembahasan melebar dengan adanya bumbu humor yang kuat, membuat suasana malam itu semakin riuh mengalahkan suara jangkrik desa yang terselimuti tawa anak-anak ini. 

    “Ehh ehh kalian tau gak sih waktu liburan tanggal merah kemarin, kami tetap disuruh masuk loh sama dosennya ihh”, ucap si Angel dengan nada kesal yang adalah seorang gadis imut bertubuh mungil dengan khas logat Bataknya. 

    “Wah malahan bagus dong itu nilaimu pasti A+ semua”, lempar seorang pemuda berparas bak orang Taiwan namun siapa yang menyangka Ia berasal dari Bumi timur Indonesia, yah kami memanggilnya Afri Tasman.

     “Wah, makin disayang Dosenmu dong”. Timpal Monic, gadis Dayak dengan karunia keindahan wajah orang koreanya. Suasana malam itu penuh dengan kerinduan, kehangatan, dan juga keintiman yang tidak dapat lagi kuulang secara nyata, mengingat memori manis ini bersama mereka. 

    Dinginnya tiupan angin malam itu sekali lagi tidak hanya menusuk kulit kami namun juga Gereja kecil Kalampangan pun tampaknya ikut merasakannya dengan sesekali terdengar getaran atapnya yang seakan ikut meramaikan nuansa kami di malam yang Panjang itu.

     Desa Kalampangan di mataku merupakan sebuah desa yang asri dan masih terawat lestari alamnya. Desa ini menurutku sangat unik karena kental dengan adat dan tradisi jawa yang jarang ditemui di daerah Kalimantan Tengah, wajar juga karena desa ini dulunya merupakan daerah transmigran yang mana orang-orangnya kebanyakan berasal dari luar pulau Kalimantan. 

    Penduduk yang ramah dengan senyuman yang selalu terlukis di wajah mereka tiap kali berpapasan membuat hasrat Saya menggebu ingin berpetualang di desa lebih lama.

    Di malam itu, aku sontak kembali mengingat saat pertama kami tiba di desa ini. Saat itu, teriknya matahari membuat tubuhku rasanya seperti terpanggang. Aku bersama dua orang temanku, Aris dan Tino menginap di rumah Seorang Bapak yang juga cukup terkenal di daerah situ. 

    Pak Jimin kami memanggilnya, sosok yang penuh energik dan semangat muda dalam dirinya yang tidak pernah padam walau dibalut tubuh rentah dan garis wajah yang mulai mengerut. 

    Pak Jimin menyambut kami bertiga dengan ramah, menyuguhkan kopi cokelat dan roti kacang yang mengisi perut kami hingga penuh, lalu bertanya mengapa kami begitu lama sampai. 

    Setelah Aris membimbing aku dan Tino sejauh 50 meter ke arah yang berlawanan dari rumah Pak Jimin. Beruntung kami dibantu warga sekitar menunjukan kami ke arah yang benar.

     Kami disuruh bersitirahat, sembari mengelilingi dengan langkah kecil rumah Pak Jimin. Menghirup udara segar sambil memandang beberapa sapi yang sedang bergelora dengan rumput hijau di padang belakang rumah. Sungguh pemandangan yang aku rindukan setelah hidup begitu lama di tengah hutan beton perkotaan. 

    Terdengar dari kejauhan suara motor Jupiter yang mendekat, dengan Afri duduk sebagai jokinya. “Ayok kita panjat pinang”. Ajakan yang sungguh menempah mental, “hayuk” sambut kami berdua Aris dengan semangat. Tapi tidak dengan Tino yang dengan wajah lesuhnya menolak lalu lebih memilih bermain dengan sapi-sapi sambil menikmati angin sepoi yang berhembus.

     Akhirnya kami bertiga pergi dengan rasa menjelajah yang luar biasa. Dan ternyata kami berdua Aris tersadar bahwa panjat pinang yang dimaksud adalah sebuah perlombaan 17-an Agustus yang diadakan di desa ini. Ahh ada-ada aja si Afri. 

    Tapi beruntungnya dari ajakan dia yang gak masuk di otak ini, kami dapat menyaksikan beberapa tarian khas budaya Jawa. Alunan gamelan dan gong seakan membius kami untuk ikut terhanyut merasakan tiap detik dari hentakan dan kemolekan tubuh para penari yang memakai topeng serta sesekali diikuti cambukan ke udara yang memekik telinga. 

     Suasana Kemerdekaan yang dibungkus dengan berbagai macam seni budaya yang kental sungguh amat meriah di desa ini. Di setiap ujung gang dan halaman rumah tertancap dan berkibar bendera kebanggan Negara ini. 

    Dari setiap tembok, lapangan bahkan warung-warung kecil tidak dapat dipungkiri dua warna kontras “Merah Putih” telah menjadi primadona yang seakan mengatakan bahwa aku tidak akan pernah dilupakan. 

    Berjalan menyusuri setapak-demi setapak debu di jalanan desa ini, sejenak aku keluar dari keramaian sambil memandang luasnya perkebunan tandus yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Angin yang berbisik sunyi, dengan jalanan sempit yang bertamburan daun kering dan atap-atap rumah yang kemerah-merahan tampak lebih kecil di kejauhan. Sekali lagi dengan sedikit imajinasi, aku tersulut oleh pemandangan mengagumkan yang aku lewati dari kejauhan jalanan desa ini.

     Tak terasa, sinar matahari mulai meredup seakan ingin memberitahu bahwa sudah saatnya untuk Ia kembali pulang. Aku dan Aris kembali pulang ke rumah diikuti dengan salam perpisahan dari Afri yang juga balik ke tempatnya. 

    Malam ini, kami memiliki agenda bersama dengan beberapa teman-teman lain yang juga menginap di rumah warga Desa Kalampangan. Waktu menunjukan pukul 18.00 WIB, hawa dinginnya malam terasa kembali menyapa kami. 

    Tapi beruntungnya dengan sedikit tegukan kopi cokelat dan juga roti kacang menjadi pahlawan yang menghangatkan tenggorokan kami bertiga bersama Pak Jimin. “Habis ini kita bakar jagung yah di Gereja” ucap Beliau. “Ohh siap laksanakan pak, kalau urusan soal bakar-membakar saya ahlinya pak” ucap Aris penuh semangat, diiringi senyum sumringah manis Tino yang nampaknya sudah tidak sabar mencicipi gurihnya jagung bakar. 

     Setelah bersiap-bersiap, kami berangkat dengan Pak Jimin yang terlihat rapi memakai batik dan blankon khas jawa bewarna hijau, menutupi uban rambutnya. 

    Jarak rumah Pak Jimin dan beberapa teman-teman lainnya tidak begitu jauh dari wilayah Gereja. Sehingga mudah bagi kami untuk saling bersilahturahmi, berbagi cerita tentang kisah apa yang dialami sepanjang hari ini. 

    Aku dan Aris segera mengumpulkan ranting dan kayu kering kemudian menggunakanya untuk membuat api. Tino dan Pak Jimin datang dengan sekarung penuh jagung diikuti dengan deruh langkah teman-teman lain yang mulai berdatangan meramaikan nuansa di depan halaman Gereja Kecil Kalampangan.

     Suara percikan ranting yang termakan api, aroma wangi jagung yang mulai matang, dan sedikit debu yang terhirup hasil kejar-kejaran antara Aris dan Monic serta sedikit kebisingan warga desa dan teman-teman lain memecah malam yang sunyi ini. 

    Aku hanya ikut tersenyum sembari memandang ke arah langit yang menyuguhkan pemandangan bintang-bintang yang begitu indah, begitu bersinar dan mengilau sehingga membuat mata terpanah menatapnya. Jika memandang ke arah samping, tidak banyak yang dapat dikagumi. 

    Hamparan ilalang dan kebun-kebun warga dengan nuansa gelapnya malam dan suara jangkrik yang saling sahut-menyahut memberi sinyal masih ada tanda-tanda kehidupan di sekitar situ.

     Setelah beberapa tongkol jagung matang, dengan gercap Ijes teman kami sang maestro penari di kampus dan Monic langsung mencomot jagung itu seperti kucing kelaparan. Sontak perang mulut terjadi antara mereka dan Aris. 

    Beberapa warga dan teman-teman yang melihat kejadian itu, merasa terhibur dan tertawa riang. Sebagian lagi merasa risih, karena membuat pendengaran terganggu dengan perdebatan mereka. Jagung-jagung yang sudah matang dikumpulkan kemudian disajikan di atas daun pisang. 

    Akhir yang ditunggu-tunggu, pun tiba meskipun dengan mulut yang harus meniup pelan jagung itu karena panas. Tapi yang terpenting adalah kebersamaan dan momen yang tercipta begitu hangat, obrolan dari hati ke hati yang diselingi sedikit tawa, membuang semua lelah yang dialami seharian ini.

Dari kiri ke kanan Angel, Monic, Orang tua angkat dan Ijes 

     Sehabis mengisi energi yang terkuras dengan kenikmatan jagung bakar yang gurih. Kami mendapat beberapa nasihat dari Pak Jimin dan juga beberapa warga desa, yang kediamannya kami tinggali bersama dengan mereka. 

    Kutipan pepatah Jawa Kuno, pengalaman hidup dan juga edukasi seputaran dunia perkulihan dan juga percintaan, menjadi pasak kecil yang menjadi pegangan kami dalam mengarungi kehidupan kedepannya. 

     Malam ini menjadi malam terakhir kami bersama dengan mereka. Tak ingin rasanya untuk buru-buru meninggalkan desa ini. Meluangkan waktu untuk menjelajah jalanan berdebu, menyaksikan kebudayaan yang beragam, serta mengagumi hamparan ilalang dan daun-daunnya yang bergururan, lalu bertemu dengan orang-orang yang begitu ramah, menyapa dengan nada lembut yang menggetarkan jiwa. Seakan menahan kepergian aku dan teman-teman lainnya. 

    Masih banyak hal yang ingin kucari di desa yang masih asri dan terawat alamnya ini. Pemandangan warga desa yang mengembalakan ternak, berjalan dengan riang sambil memikul cangkul dan berkebun sambil memanen hasil jerih payahnya akan menjadi memori yang cukup indah untuk dikenang.

     Tetesan demi tetesan air berjatuhan dari langit yang gelap dan sudah tak berbintang. Kini, hawa dinginya malam tidak datang dengan sendirian lagi, tetapi dibarengi dengan hujan yang mulai membasahi tanah berdebu desa ini. 

    Sekolompok muda-mudi yang berbincang hangat kini mulai meninggalkan Gereja Kecil itu sendirian. Dari kejauhan nuansa yang tadinya ramai dengan gelak tawa dan kebisingan, kini telah sunyi dan sepi. 

    Hanya derasnya air hujan mengalir melalui atap dan remang-remang lampu Gereja, hanyalah sekilas memori perpisahan yang kuingat antara aku dan desa ini. Desa Kalampangan.